Makalah Fiqh Muamalah II

HAWALAH

Dosen Pengampu           : Homaidi Hamid, S. Ag,, M. Ag

Pemakalah                        : Fennylia Pratiwi & Sugi Sundari

Prodi                                   : Ekonomi Dan Perbankan Islam

Fakultas                             : Agama Islam

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

  1. A.   Pengertian Hawalah

Kata hawalah diambil dari kata tahwil yang berarti intiqal (Perpindahan). Menurut bahasa, hawalah adalah memindahkan atau berpindah. Sementara menurut istilah, hawalah adalah akad yang menghendaki pemindahan utang dari tanggungan seseorang kepada tanggungan orang lain1atau pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam istilah Islam merupakan pemindahan beban hutang dari muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal ‘alaih  atau orang yang berkewajiban membayar hutang.2

 

  1. B.   Dasar Hukum Hawalah
    1. 1.      Landasan Syariah

Syariat dan kebolehan hiwalah berlandaskan pada hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim. Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. Bersabda,

مَطلُ الغَنِيِّ ظٌلمٌ , فَـإ ذاأًتبع أحدكم على ملىّ فليتّبع

Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah kezaliman. Dan jika salah seorang kamu diikutkan (dihiwalahkan) kepada orang yang kaya yang mampu,m maka turutlah. ”

 

Selanjutnya, Imam Ahmad, “seseorang yang utangnya dipindahkan kepada orang kaya, hendaklah ia menerimanya”

Atas dasar hadis itu, seseorang yang memiliki piutang dari orang lain, kemudian orang yang berutang kepadanya memindahkan utangnya kepada orang lain, pemilik piutang dianjutkan untuk menerima pemindahan (hawalah) ini, tetapi tidak sampai diwajibkan. Dalam anjuran ini, dipertimbangkan agar orang yang diserahi utang adalah orang yang memiliki harta untuk melunasi utang kepada muhal.

1 Dr. Musthafa Dib Al – Bugha, Buku Pintar Transaksi Syariah, halm 179

2 Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, halm 153

Dipersyaratkan pula tidak ada syubhat (ketidakjelasan) pada hartanya. Jika ia tidak memiliki harta untuk melunasi utang yang dipindahkan padanya atau terdapat syubhat pada hartanya, tidak dianjurkan bagi muhal untuk menerima pemindahan utang tersebut.3

 

  1. 2.      Landasan Hukum Positif

Hiwalah sebagai salah satu produk perbankan syariah di bidang jasa telah mendapatkan dasar hukum dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dengan diundangkannya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, hiwalah mendapatkan dasar hukum yang lebih kokoh. Dalam Pasal 19 UU Perbankan Syariah disebutkan bahwa kegiatan usaha Bank Umum Syariah antara lain meliputi melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad Hiwalah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah.

Produk jasa perbankan syariah berdasarkan akad hiwalah secara teknis mendasarkan pada PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah., sebagaimana yang telah diubah dengan PBI No. 10/16/PBI/2008. Pasal 3 PBI dimaksud menyebutkan Pemenuhan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud, antara lain dilakukan melalui kegiatan pelayanan jasa dengan memeprgunakan antara lain Akad kafalah, hawalah,dan  sharf.4

 

  1. C.    Rukun dan Syarat Hawalah
    1. 1.      Muhil

Muhiladalah orang yang berutang (debitor) yang memindahkan utangnya kepada orang lain.Muhil haruslah orang yang mampu berakad, yaitu orang yang sudah akil baligh dan berakal sehat.Hawalah tidak sah jika berasal dari orang gila atau anak kecil yang belum bisa berpikir.

Mazhab hanafiah memperbolehkan hawalah yang dilakukan oleh anak kecil yang sudah bisa berpikir jika diizinkan oleh walinya atau jika akad tersebut karena hal yang sudah terjadi sebelumnya.

3 Dr. Musthafa Dib Al – Bugha, Buku Pintar Transaksi Syariah, halm 180

4 Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, halm 160

  1. 2.      Muhal

Muhal adalah pemberi jaminan (kreditor) yang utangnya dipindahkan untuk dilunasi oleh orang lain yang bukan peminjamnya atau orang yang memberi pinjaman kepada muhil yang memindahkan utangnya untuk dilunasi oleh orang lain.

  1. 3.      Muhal ‘Alaih

Muhal ‘alaih adalah orang yang harus melunasi utang kepada muhal. Muhal ‘alaih harus orang yang sudah akil-baligh. Mazhab Syari’iah dan Hanafiah sepakat tentang hal ini. Hawalah tidak sah jika dilakukan oleh orang gila dan anak kecil, karena kewajiban melunasi utang merupakan baigan dari tabarru’ sedangkan orang yang belum baligh tidak sah ber-tabarru’.

  1. 4.      Muhal Bih

Muhal bih adalah hak muhal yang harus di lunasi oleh muhil, namun kewajiban (untuk melunasi) hak itu, kemudian dialihkan oleh muhil kepada muhal ‘alaih. Syarat muhal bih antara lain adalah berupa utang dan utang tersebut bersifat tetap. Hawalah tidak sah jika dalam bentuk benda-benda berwujud karena hawalah merupakan pengalihan hukum sementara pengalihan benda-benda berwujud merupakan pengalihan hakiki.

  1. Shighat (Ijab dan Qabul)

Ijab adalah ucapan muhil. Misalnya, “Saya alihkan kepadamu kewajiban (untuk membayar utang) kepada si fulan”. Qabul adalah ucapan muhal misalnya “Saya terima” atau “Saya ridha”. Ijab dan Qabul harus dilakukan di tempat akad.

Imam Abu Yusuf, salah seorang ulama Mazhab Hanafiah berpendapat bahwa sekalipun muhal tidak ada ditempat akad hawalah, tetapi ia menerima kabar tersebut, lalu ia menerimanya, akad hawalah telah sah. Ia menganggap bahwa kesamaan tempat akad alaha syarat pelaksanaan, bukan syarat sahnya akad. Namun pendpat yang benar adalah bahwa kesamaan tempaat akad merupakan syarat sahnya akad. Oleh karena itu, hawalah tidak sah jika tidak ada qabul di tempat ijab.

  1. 6.      Khiyar Syarat dan Khiyar Majlis

Khiyar syarat pada asalnya ditetapkan dalam semua akad untuk menjaga kedua pihak yang bertransaksi dari penipuan. Sebaliknya akad hawalah tidak dibangun diatas prinsip tipu menipu. Akad ini adalah akad yang prinsipnya dilakukan untuk saling menolong.

Khiyar majlis ditetapkan pada jual-beli barang. Sedangkan hawlah adalah jual-beli utang dengan utang. Sekalipun akad ini termasuk akad mu’awadhat (transaksi), ia tidak sepenuhnya dibangun di atas prinsip – prinsip transaksi.

akad hawalah pun termasuk ke dalam akad pembebasan (ibra’). Oleh karena itu, akad ini mengikuti prinsip-prinsip pembebasan. Dengan demikian akad ini tidak sah menggunakan kalimat jual-beli dan tidak perlu diberlakukan khiyar majlis.5

      Syarat  Hawalah

  1. 1.      Syarat Umum Hawalah
  2. Pernyataanijabdanqabulharusdinyatakanolehparapihakuntukmenunjukkankehendakmerekadalammengadakankontrak (akad).
  3. Akad dituangkan secara tertulis,  melalui korespondensi,  atau menggunakan cara-cara komunikasi modern.
  4. Hawalah dilakukan harus dengan persetujuan muhil, muhal/muhtal, dan muhal ‘alaih.
  5. Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akadsecara tegas.
  6. Jika transaksi hawalah telah dilakukan, pihak-pihak yang terlibat hanyalah muhal dan muhal alaih;  dan hak penagihan muhal berpindah kepada muhal ‘alaih.
  7. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan  di  antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi  Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.6

 

  1. 2.      Syarat Sah Hawalah
  2. Adanya Kerelaan dari  pihak Muhil dan Muhal ‘alaih.

Karena pada dasarnya Muhil adalah orang yang memiliki kewajiban membayar hutang dari arah mana saja yang sesuai dengan keinginannya dan Muhal mempunyai

5 Dr. Musthafa Dib Al – Bugha, Buku Pintar Transaksi Syariah, Halm 181 – 184

6 Fatwa Dewan Syariah Nasional, No : 12/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Hawalah

hutang dari arah mana saja yang sesuai dengan keinginannya dan Muhal mempunyai hak yang ada pada tanggungan muhil, maka tidak mungkin terjadi perpindahan kewajiban tanpa ada kerelaan.

  1. Stabilnya jumlah hutang.
  2. Samanya kedua hal, baik jenis maupun kadarnya,penyelesaian tempo waktu, mutu baik dan buruk. Karena hawalah tidak akan sah apabila  hutang berbentuk emas dan di hiwalahkan agar ia mengambil perak sebagai penggantinya. Demikian pula,sekiranya hutang itu sekarang dan dihiwalahkan untuk dibayar kemudian (ditangguhkan) atau sebaliknya. Dan tidak sah pula hiwalah yang mutu baik dan buruknya berbeda atau salah satunya lebih banyak.7
  3. D.    Macam- Macam Hawalah

Menurut Mazhab Syafi’iah, hawalah hanya satu macam, seperti yang telah dijelaskan diatas beserta syarat-syarat dan ketentuan-ketentuannya. Ini merupakan jenis hawalah yang dibolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama.

Mazhab Hanafiah membolehkan dua macam hawalah,8

  1. Hawalah terikat (Muqayyad)

Seseorang memindahkan utang dan mengaitkan dengan piutang yang ada padanya. Inilah hiwalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama

  1. Hawalah tidak terikat (Mutlaqah)

Seseorang memindahkan hutangnya kepada orang lain dan tidak mengaitkan dengan hutang yang ada pada orang itu. Menurut ketiga mazhab lain kalau muhal ‘alaih tidak punya hutang kapada muhil, maka hal ini sama dengan kafalah, dan ini harus dengan keridhaan tiga pihak.

Kemudian apabila dikaitkan dengan Hukum Lembaga Pembiayaan akad Hiwalah dipakai dalam factoring atau anjak piutang. Anjak piutang adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian piutang dagang jangka pendek suatu perusahaan berikut pengurusan atas piutang tersebut.

7Sayyid Sabbiq, Fiqh Sunnah – 13,halm 40-41

8Dr. Musthafa Dib Al – Bugha, Buku Pintar Transaksi Syariah, halm 187

 

Dalam mengaplikasikan akad hiwalah pada produk perbankan syariah ini paling tidak terdapat tiga pihak diantaranya diikat dengan perjanjian. Ketiga pihak tersebut, yaitu bank sebagai faktor (muhal ‘alaih) nasabah selaku klien (muhil), dan pihak yang mempunyai hutang kepada nasabah (customer).9

Perbedaan Hiwalah Terikat (Muqayyad) dan Hiwalah Tidak Terikat (Mutlaq) :

  1. 1.      Tuntutan pembayaran utang kepada muhal ‘alaih

Jika muhil memiliki harta yang dipinjam oleh muhal ‘alaih dan mengikat muhal dengan utang tersebut dalam hawalah, hak muhil untuk menagih utang kepada muhal ‘alaih gugur. Hal ini dikerenakan, ia telah mengikat hawalah dengan utang tersebut dan mengaikannya dengan hak muhal. Dengan demikian, utan gyang ada di tangan muhal ‘alaih statusnya berubah menjadi semacam barang gadai sekalipun bukan. Jika muhal ‘alaih melunasi utang kepada muhal, telah terjadi muqashshah (kliring) antara utang muhil dan utang muhal ‘alaih. Setelah itu tidak ada lagi tagih menagih utang.

Jika muhil mengalihkan tanggung jawab kepada muhal ‘alaih tanpa mengikat hawalah dengan utang yang ia pinjamkan kepada muhal ‘alaih, dalam kasus ini muhal ‘alaih dituntut melunasi dua utang, yaitu utang hawalah yang merupakan hak muhal untuk menagihnya dan utang asalnya kepada muhil yang berhak ditagih oleh muhil. Muhil tidak mengikat utang hawalah dengan utang muhal ‘alaih kepadanya. Dengan demikian, tidak terjadi kliring antara utangnya dan utang hawalah. Oleh kerena itu, muhil dan muhal berhak menagih piutang masing-masing.

  1. 2.      Terbebasnya Muhal ‘alaih dari Kewajiban Membayar Utang

Jika hawalah terikat dan sudah jelas muhal ‘alaih terbebas dari kewajibannya membayar utang (kepada muhil) yang telah diikat dengan hwalah, misalnya utang (muhal ‘alaih) berupa harga dari suatu barang, tetapi barangnya tidak ada maka hawalah tersebut batal. Kateiak ia mengikat hawalah dengan tuang yang dikaitkaan dengan barang itu, jika sudah jelsa bahwa tidak ada utang disana, jelas pula tidak ada hawalah.

Jika hawalahnya tidak terikat, lalu tampak bahwa muhal ‘alaih terbebas dari utangnya kepada muhil, akad hawalah tidak batal. Utang hawalah tidak berkaitan dengan utang yang berada dalam tanggungan muhal ‘alaih yang diikat pada sesuatu.

9Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, halm 153-154

Ia hanya berkaitan dengan tanggungan muhal ‘alaih. Dengan demikian, tidak terdapatnya utang dalam tanggungan muhal ‘alaih tidak mengharuskan tidak adanya akad hawalah. Oleh karena itu, akad hawalah tetap sah.

  1. Meninggalnya muhil sebelum melunasi utangnya

Jika hawalah bersifat terikat, muhal dan orang-orang yang berpiutang lainnnya boleh sama-sama mengambil harta milik muhil yang berada dalam tanggungan muhal ‘alaih. Masaing-masing berhak mengambil sesuai dengan harta yang dipinjamkan kepada muhil sebab hak muhal berkaitang dengan utang. Begitu juga dengn hak orang-orang yang berpiutan glinnya. Oleh karena itu, tidak ada yang lebih berhak atas yang lain.

Jika hawalah bersifat mutlak, muhal tidak berbagi dengan orang-orang yang berpiutang lainnya dalam mengambil utang muhil yang berada dalam tanggungan muhal ‘alaih. Hak muhal tidak berkaitan dengan utang tersebut kerena akad hawalah tidak diikat dengannya. Hanya saja, hak muhal berada dalam tanggungan muhal ‘alaih sehingga ia dapat menagih utang tersebut kepadanya. Akan tetapi, semua harta muhil yang berada dalam tanggungan muhal ‘alaih menjadi hak orang lain yang berpiutang kepada muhil, selain muhal. Oleh karena iu , muhal tidak ikut dalam pembagian harta milik muhil.10

  1. E.     ImplementasiAkadHiwalahPada Bank Syariah

Dalam praktik bisnis yang dilaksanakan, hawalah muqayyadah (pemindahan hutang atas hutang yang dimiliki sebagai gantinya) merupakan akad pemindahan hutang yang yang dibolehkan karena kejelasannya dan risiko yang dapat dipagari.

Teknis Perbankan :

  1. Dalam praktek perbankan syariah fasilitas hawalah lazimnya untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan usahanya. Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan hutang.
  2. Untuk mengantisipasi risiko kerugian yang akan timbul, bank perlu melakukan penelitian atas kemampuan pihak yang berhutang dan kebenaran transaksi antara yang memindahkan piutang dengan yang berhutang.
  3. Karena kebutuhan supplier akan likuiditas maka ia meminta bank untuk mengambil alih piutang. Bank akan menerima pembayaran dari pemilik proyek.11

10Dr. Musthafa Dib Al – Bugha, Buku Pintar Transaksi Syariah, halm 188-190

11Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi, halm 79

Akad hawalah di Perbankan Syariah dipraktikan dalam beberapa produk sebagai berikut :

  1. Factoring atau anjak piutang, yang mana para nasaah yang memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, bank lalu membayar piutang tersebut dan bank menagihnya dari pihak ketiga itu
  2. Post-dated check, yang mana bank bertindak sebagai juru tagih, tanpa membayarkan dulu piutang tersebut.
  3. Bill Discounting,  yang mana secara prinsip bill discounting serupa dengan hiwalah. Hanya saja dalam hal ini, nasabah harus membayar fee, sedangkan pembahasan fee tidak didapati dalam kontrak hiwalah.

Adapun manfaat atau keuntungan yang diperoleh jika kita memakai mekanisme hawalah adalah sebagai berikut :

  1. Memungkinkan penyelesaian hutang dan piutang dengan cepat dan stimultan
  2. Tersedianya talangan dana untuk dana hibah yang membutuhkan
  3. Dapat menjadi salah satu fee-based income atau sumber pendapatan non pembiayaan bagi bank syariah
  4. Bagi pihak nasabah selaku klien dari bank akan mendapatkan instant cash sehingga dapat meningkatkan cash flow perusahaannya.

Dalam akad hawalah terdapat risiko yang harus diwaspadai oleh pihak bank syariah dari sebuah kontrak hiwalah adalah adanya kecurangan nasabah dengan memberi invoice palsu atau wanprestasi (ingkar janji) untuk memenuhi kewajiban hiwalah kepada bank.

Teknis penerapan akad hiwalah sebagai produk perbankan syaraih di bidang jasa dapat berpedoman pada SEBI No. 10/14/DPbS tanggal 17 Maret 2008. SEBI ini memberikan ketentuan bagi hiwalah mutlaqah maupun hiwalah muqayyadah. Dalam pelaksanaan jasa dalam bentuk pemberian jasa pengalihan utang atas dasar akad Hiwalah Mutlaqah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut :

  1. Bank bertindak sebagai pihak yang menerima pengalihan utang atas utang nasabah kepada pihak ktiga
  2. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik pemberian jasa pengalihan utang atas dasar akad hiwalah, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah
  3. Bank wajib melakukan analisis atas rencana pemberian jasa pengaliah utang atas dasar akad hiwalah bagi nasabah yang antara lain meliputi aspek perseonal berupa analisa atas karakter dan aspek usaha antara lain meliputi analisa kapasitas usaha (capacity), keuangan (capital), dan prospek usaha (condition).
  4. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertuliis berupa akad pengalihan utang atas dasar hiwalah
  5. Nilai pengalihan utang harus sebesar nilai nominal
  6. Bank menyediakan dana talangan (Qardh) sebesar nilai pengalihan utang nasabah kepada pihak ketiga
  7. Bank dapat meminta imbalan (ujrah) atau fee dalam batas kewajaran kepada nasabah
  8. Bank dapat mengenakan biaya administrasi dalam batas kewajaran kepada nasabah.

Kemudian dalam kegiatan pelayanan jasa dalam bentuk akad Hiwalah Muqayyadah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut :

  1. Ketentuan kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pemberian jasa pengalihan utang atas dasar akad hiwalah mutlaqah sebagaimana dimaksud pada angka 2 kecuali huruf a, f, dan g.
  2. Bank bertindak sebagai pihak yang menerima pengalihan utang atas utang nasabah kepada pihak ketiga, dimana sebelumnya bank memiliki utang kepada nasabah
  3. Jumlah utang nasabah kepada pihak ketiga yang bisa diambil alih oleh bank, paling besar sebanyak nilai utang bank kepada nasabah.12
  1. F.      Berakhirnya Hawalah

Pertama, pendapat  Mazhab Syafi’iah. Konsekuensi hukum hawalah adalah berpindahnya kewajiban (membayar utang) dari muhil kepada muhal ‘alaih dalam bentuk lepasnya tanggung jawab muhi luntuk membayar utang. Pada saat itu juga, akad hiwalah berakhir. Tidak ada hubungan apapun lagi antara muhil dan muhal. Yang tersisa hanyalah hubungan antara muhal dengan muhal ‘alaih. Muhal pun tidak berhak lagi untuk menagih kepada muhil, bahkan sekalipun muhal ‘alaih tidak membayar padanya karena suatu sebab. Misalnya, muhal ‘alaih bangkrut ataumengingkariutangtersebut.

12 Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, halm 155-158

Hal tersebut disebabkan kewajiban (membayar utang) sudah berpindah dengan akad hawalah dari tempatnya yang pertama ke tempat yang lain. Sesuatu yang sudah berpindah dari tempatnya tidak akan kembali ke tempat semula, kecuali dengan akad perpindahan yang baru lagi.

Kedua, pendapat Mazhab Hanafiah. Jika muhal sulit memperoleh pembayaran dari muhal ‘alaih karena sebab yang jelas, ia berhak kembali menagih utang tersebut kepada muhil. Dengan demikian, akad hawalah berakhir. Menurut Abu Hanifah, sebab-sebab tersebut adalah sebagai berikut :

  1. Muhal ‘alaih meninggal dalam keadaan bangkrut
  2. Muhal ‘alaih mengingkari akad hawalah sampai berani bersumpah akan hal itu. Ditambah lagi, muhal dan muil tidak memiliki bukti tentang adanya akad hawalah tersebut
  3. Pengikut Abu Hanifah menambahkan sebab yang ketiga, yaitu hakim memutuskan bahwa muhal ‘alaih bankrut pada masa hidupnya

Dalil mereka mengenai hal ini adalah bahwa muhal sudah tidak akan mungkin memperoleh haknya dari muhal ‘alaih dalam situasi semacam ini. Tambahan lagi, terbebasnya muhil dari kewajiban membayar utang terikat dengan terpeliharanya hal muhal. Inilah tujuan hawalah, jika hak muhal tidak aman, muhil tidak terbebas dari tanggung jawab atas utangnya. Oleh kerena itu, muhal pun berhak menagih utangnya kembali kepada muhil. Jika muhal kembali menagih muhil, akad hawalah berakhir.

Ketiga, Mazhab Hanafiah, hawalah berakhir dengan pembatalan. Hawalah adalah akad yang memiliki unsur transaksional. Dengan demikian, akad ini bisa dibatalkan. Pembatalan dapat terjadi dengan ruju’nya (menarik kembali) muhil dari ijbanya atau ruju’nya muhal atau muhal ‘alaih dari qabulnya atas hawalah dan terjadi sebelum muhal ‘alaih melakukan pembayaran utang. Pengertian pembatalan adalah mengakhiri akad sebelum tujuan akad tersebut tercapai. Ketika hawalah batal, tagihan kembali kepada muhil, sebaliknya menurut Mazhab Syafi’iah, akad hawalah adalah akad yang mengikat kedua belah pihak. Oleh karena itu, pembatalan setelah akad sah tidak dapat diterima.

Keempat, menurut ulama Mazhab Hanafiah, hawalah juga berakhir jika sifatnya terikat dan muhil meninggal sebelum muhal menerima pembayaran utangnya dari muhal ‘alaih. Harta yang terikat dengan akad hawalah tersebut termasuk peninggalan muhil. Menurut mereka, muhal bisa kemali kepada ahli warisnya dan menuntut pembayaran utang yang menjadi tanggung jawab muhil kepada mereka.

Kelima, hawalah juga berakhir dengan berakhirnya hukum hawalah itu sendiri, yakni pelunasan utang dari muhal ‘alaih kepada muhal, baik hakikat maupun hukumnya. Secara hakikat, hawalah berakhir apabila muhal ‘alaih melunasi utang yang dialihkan kepadanya. Adapun secara hukum, hawalah berakhir jika :

  • Muhal meninggal dunia dan muhal ‘alaih merupakan ahli warisnya
  • Muhal menghibahkan utang tersebut atau menyedekahkannya kepada muhal ‘alaih dan ia menerimanya
  • Muhal membebaskan muhal ‘alaih dari kewajibannya membayar utang

Ini adalah bentuk – bentuk pelunasan utang secara hukum. Pada kasus ini, hukum hawalah berakhir, seperti pada pelunasan sesungguhnya.13

 

 

13Dr. Musthafa Dib Al – Bugha, Buku Pintar Transaksi Syariah, halm 193-196

DAFTAR PUSTAKA

 

–         Dib Al – Bugha, Musthafa, (2003), Buku Pintar Transaksi Syariah, Hikmah, Bandung.

–         GhofurAnsori, Abdul, (2009), PerbankanSyariah di Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

–         Sabiq, Sayyid,( 1987), Fiqh Sunnah -13, PT. Alma’arif, Bandung.

–         Sudarsono, Heri, (2008), Bank dan Lembaga Keuangan Syariah : Deskripsi dan Ilustrasi,EKONISIA, Yogyakarta.

–         Fatwa Dewan Syariah Nasional , No : 12/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Hawalah

*Please Take Out With Full Credit , Thank You^^*